1.1. Latar
Belakang
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah
suatu penyakit neuropati perifer dengan onset akut dan ditandai dengan
kelemahan motorik yang biasanya di awali oleh kelemahan pada bagian distal
ekstremitas bawah dan naik ke arah kranial (ascending
paralysis) dengan karateristik adanya kelemahan arefleksia yang bersifat
progresif dan perubahan sensorik (McGrogans
et al., 2009).
Penyakit ini disebabkan
oleh autoimun dan muncul akibat dipicu oleh infeksi sebelumnya (antecedent infections). Dalam dua
pertiga dari kasus, penyebab yang paling sering disebabkan oleh infeksi
pernapasan dan infeksi saluran pencernaan (Pieter et al., 2008).
Kasus SGB
terdapat di berbagai belahan dunia, insidensinya mencapai 1–3 kasus per 100.000
populasi pertahun, namun angka pelaporan yang aktual sekitar 15% lebih besar
dari angka yang dilaporkan. Resiko terjadinya penyakit ini sama di seluruh
dunia dan diantara semua ras bangsa, kecuali berdasarkan pengaruh musim. Insidensi usia
pada sindroma Guillain-Barre yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan untuk yang
paling muda dan 95 tahun untuk paling tua. Laki-laki cenderung lebih mudah
terkena yaitu sebesar 1,5 : 1 dibanding wanita (Burns,
2008).
Angka
kejadian di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak dipublikasikan.
Chandra (1983) dalam penelitiannya menyebutkan insidensi terbanyak di Indonesia
adalah pada dekade I, II, dan III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
2.1.
Definisi
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah
suatu penyakit neuropati perifer dengan onset akut dan ditandai dengan
kelemahan motorik yang biasanya di awali oleh kelemahan tungkai (ascending paralysis). Penyakit ini
disebabkan oleh autoimun dan muncul akibat dipicu oleh infeksi sebelumnya.
Dalam dua pertiga dari kasus, penyebab yang paling sering disebabkan oleh
infeksi pernapasan dan infeksi saluran pencernaan (McGrogans
et al., 2009).
2.2.
Epidemiologi
Sindroma Guillain-Barre adalah
penyebab umum dari kelumpuhan neuromuskuler dan telah dilaporkan menyerang di
seluruh dunia. Kejadian tahunan SGB dilaporkan menjadi 1-3 setiap 100.000 dari setiap
populasi. Kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa insiden meningkat secara
linear dengan usia dan bahwa laki-laki sekitar 1,5 kali lebih mungkin terkena SGB
daripada perempuan (Pieter et.al,
2008).
Sebuah laporan epidemiologi terakhir
di Amerika Serikat dan Eropa mengindikasikan bahwa kejadian SGB pada pasien
berusia <16 tahun berubah selama periode 2000-2004, namun laporan sementara
peningkatan SGB terjadi pada pasien berusia >50 tahun dari 1,7 menjadi 3,3
dari setiap 100.000 populasi (McGrogan, et.al,
2009).
Salah satu laporan menarik datang
dari sebuah penelitian di Cina, yang menunjukkan peningkatan varian, aksonal
motor GBS selama musim panas tahun 1991 dan 1992 di sebuah area pedesaan. Penelitian
lain juga melaporkan kenaikan sementara dalam kejadian GBS dari 1,6 menjadi 3,1
per 100.000 pada periode 1987-1999 di pulau Curaçao, Karibia. Namun, pengamatan
terbaru Alshekhlee et al. (2008) menunjukkan
bahwa insiden sementara meningkat di Curaçao telah hampir kembali ke normal pada
tahun 2006.
2.3. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini belum
dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan
perdebatan. Beberapa faktor pencetus penyakit yang mendahului awal perkembangan
penyakit mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a.
Infeksi
b.
Vaksinasi
c.
Pembedahan
d.
Penyakit sistematik
·
Keganasan
·
Sistemik lupus erythematosus
·
Tiroiditis
·
Penyakit Addison
e.
Kehamilan atau dalam masa nifas (Japardi, 2005)
SGB sering sekali berhubungan dengan
infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi
ini sekitar 56-80%, yaitu 1-4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti
infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal (Pieter et al., 2008)
Telah diketahui bahwa infeksi
salmonela thyposa dapat menyebabkan SGB. Kemungkinan timbulnya SGB perlu lebih
diketahui khususnya di Indonesia, dimana demam tifoid masih menjadi penyakit
menular yang harus di waspadai.
Tabel 1. Penyebab infeksi akut yang
berhubungan dengan SGB
2.4.
Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi
pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi menurut
Mardjono et al (2008) pada sindroma
ini adalah:
1. 1.Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan
seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi
dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.
Dalam sistem kekebalan seluler, sel
limfosit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor
sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) stem cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini
terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui
makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh
virus, alergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell
= APC).
Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interleukin (IL2), gamma
interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang
dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar
darah saraf untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag
akan mensekreksikan enzim protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.
Gambar 1. Mekanisme selular pada
sindroma Guillain-Barre
2.5.
Klasifikasi
SGB dapat dibagi menjadi tiga subtipe yang dapat dibedakan dengan
menggunakan elektrodiagnostik, yaitu :
ü Acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy (AIDP)
ü Acute motor axonal neuropathy (AMAN), acute motor and sensory axonal neuropathy
(AMSAN)
ü Miller
Fisher syndrome (MFS)
Gambar 2. Sub tipe sindroma
Guillain-Barre
A. Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Bentuk
yang paling umum dari SGB adalah Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
yang ditandai oleh keadaan patologis demielinasi, infiltrasi limfositik, dan
makrofag yang mediasi pembersihan myelin. Sekitar dua pertiga kasus SGB terjadi
pada minggu setelah infeksi seperti C. jejuni, CMV, mycoplasma pneumonia, atau virus influenza. Agen ini menular dikarenakan
memiliki epitop pada permukaan mereka yang mirip dengan epitop pada permukaan
saraf perifer (gangliosida, glikolipid), sehingga saraf perifer bertindak
sebagai molekul yang meniru dari agen menular. Sebagai contoh, gugus
karbohidrat gangliosida (misalnya, GM1, GD1a, GQ1b) ditemukan pada permukaan
dari saraf perifer dan meniru struktur dari lipooligosaccharides
(RUGI) C. Jejuni (Willison et al., 2005).
B. Acute Motoric Axonal Neuropathy
(AMAN)
Acute
motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan sebagai penyakit
epidemik selama musim panas pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55-65%
dari pasien SGB tersebut merupakan SGB sub-tipe jenis AMAN. Jenis ini lebih
menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon.
Klinisnya ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan
dengan kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang
baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks dikarenakan disfungsi
sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan
neuron motorik (Burns, 2008)
Acute
motor axonal neuropathy (AMAN)
sering disebabkan oleh infeksi
C.
jejuni
yang berisi epitop
yang
mirip dalam
GM1
gangliosida
dari
saraf.
Seperti
AIDP,
AMAN
diyakini
mengalami gangguan
pada IgG
dan
komplemen-dimediasi.
Dalam
banyak kasus,
pada awal proses makrofag
tertarik
pada nodus Ranvier
oleh hasil komplemen.
Makrofag
membelah ke dalam ruang
periaxonal
ruas,
menggusur akson
dari
sel
Schwann dan
menyebabkan
degenerasi
aksonal.
Luasnya
makrofag
yang dimediasi
degenerasi
aksonal
mungkin
mempengaruhi prognosis,
dimana hal tersebut menyebabkan kemungkinan
kematian lebih tinggi dan
tentu proses pemulihan yang berlarut-larut
bagi mereka yang
survive.
C. Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah
karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan oftalmoplegia. Kelemahan pada
ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy mungkin terjadi pada
beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap
ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada
saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
Perbedaan
penting antara
MFS
dan
AIDP
atau AMAN adalah aktivasi
antibodi
anti-GQ1b
dan anti-GT1a
di
MFS
yang menargetkan
oculomotor
dan saraf
bulbar
yang diperkirakan memiliki
saraf
GQ1b
relatif tinggi
dan kepadatan
ganglioside
GT1a.
Pada MFS, akson
terminal
presinaptik
saraf dan
sel Schwann
perisynaptic
cenderung mengalami kerusakan (Burns,
2008).
Tabel 2. Perbedaan antibodi tiap subtipe
SGB
2.6.
Diagnosis
Diagnosis
sindroma Guillain-Barre
didasarkan pada keadaan
klinis
yang khas
dan disertai dengan pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan elektrodiagnostik
dan pemeriksaan cairan serebrospinal.
Kriteria
diagnostik untuk SGB ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 3. Kriteria Diagnostik Sindroma Guillain-Barre
a. Manifestasi
Klinis
Kelemahan
mungkin mempengaruhi semua otot tungkai atau sebagian besar otot-otot distal atau
proksimal pada lengan atau kaki. Pasien bisa mengalami
penurunan reflek tendon dalam atau tidak. Beberapa
keadaan klinis pada pasien SGB terlampir pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 3.
Persentasi gambaran gejala klinis pada Sindroma Guillain-Barre
b. Punksi
Lumbal (Cerebro Spinal Fluid)
Punksi
lumbal hampir selalu dilakukan pada pasien yang
diduga menderita SGB. Pemeriksaan
cairan cerebro spinal (CSF) biasanya menunjukkan peningkatan
protein CSF dan peningkatan sel darah
putih. Konsentrasi protein CSF
pada pasien dengan SGB seringkali normal pada minggu pertama, namun
meningkat lebih dari 90% dari pasien
pada akhir minggu kedua. Dalam
studi pasien dengan sindrom Miller Fisher
(MFS), proporsi
pasien dengan protein CSF total meningkat dari 25% pada minggu pertama dan menjadi 84%
pada minggu kedua. Studi ketiga terakhir mengindikasikan bahwa
konsentrasi haptoglobin, α1-antitripsin
dan apolipoprotein juga meningkat, namun relevansi patogenetik terhadap SGB sampai saat ini belum diketahui dengan pasti (Pieter et al., 2008).
c. Elektromiografi
Elektromiografi
dapat membantu untuk
mendiagnosis
dalam kasus-kasus klinis pada pasien
yang memiliki rasa sakit yang hebat dan sangat diperlukan untuk mengklasifikasikan SGB ke dalam sub-tipe AMAN dan AIDP
(Burns, 2008).
Gambaran EMG pada awal
penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan
puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai
menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat
adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F
yang memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan
pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa
otot dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik (Suharso, 2006).
Pada
umumnya pasien
dengan
SGB dapat
didiagnosis
dengan mudah.
Namun, pada pasien
atipikal,
peningkatan
jumlah sel
CSF
juga memiliki kemungkinan
pada penyakit lain, seperti keganasan leptomeningeal, Lyme disease, infeksi virus West Nile, dan SGB terkait HIV. Beberapa sebab
yang bisa menimbulkan
keraguan tentang diagnosis SGB tercantum dalam Gambar 3.
Gambar 4. Diagnosis Diferensiasi Sindroma
Guillain-Barre
2.7. Penatalaksanaan
2.7.1. Perawatan Suportif
Perawatan
suportif sangat penting untuk
meminimalkan risiko mortalitas, bahkan pada pasien SGB dalam
penanganan imunoterapi, persentase
mortalitas adalah 5% dan akan menjadi 20% pada pasien dengan gangguan ventilasi. Pedoman perawatan suportif berdasarkan konsensus adalah sebagai berikut (Burns,
2008).
A. Monitoring dan Manajemen Kegagalan pernapasan dan
Airway
Kegagalan
pernapasan neuromuskular yang memerlukan ventilasi mekanis terjadi pada
20% - 30% pasien SGB. Ahli saraf harus memantau
tanda-tanda klinis dari kegagalan pernafasan yang akan terjadi,
termasuk takipnea, penggunaan otot
pernapasan tambahan, gerakan tidak
sinkron antara dada dan perut,
dan takikardia. Sebuah kapasitas vital di bawah 20 mL/kg, tekanan inspirasi maksimal (PImax) < 30cm H2O, atau tekanan ekspirasi maksimal (PEmax) < 40cm H2O memprediksi serangan
pernapasan akut. Waktu dari
onset untuk masuk
kurang dari 1 minggu, kelemahan wajah, ketidakmampuan untuk batuk, ketidakmampuan untuk mengangkat kepala dari bantal,
dan atelektasis pada rontgen dada adalah faktor
lain yang berhubungan dengan kegagalan pernapasan dan kebutuhan mekanik ventilation. Durasi
rata-rata ventilasi mekanis untuk SGB adalah 2-6 minggu (Burns, 2008).
Kebutuhan
dan indikasi
trakeostomi
harus didasarkan pada
status
individu dalam
konteks
pemahaman bahwa
trakeostomi
pada awal
meningkatkan kenyamanan
pasien dan keselamatan
jalan napas,
namun trakeostomi
juga dapat mengakibatkan
cacat permanen
dan telah dikaitkan
dengan komplikasi seperti
perdarahan dan
infeksi. Keputusan
untuk melakukan trakeostomi dapat menunggu 2 minggu setelah intubasi,
tetapi jika pada 2 minggu pasien tidak menunjukkan
perbaikan fungsi paru dan kekuatan pernapasan yang signifikan, maka trakeostomi menjadi pilihan.
B. Monitoring dan Manajemen otonom Nervous System Dysfunction
Disfungsi otonom akut berkembang di sebagian besar pasien dengan SGB dan
merupakan penyebab terbesar kematian pada pasien. Gangguan jantung dan
hemodinamik adalah komplikasi yang paling serius dan sering, seperti
hipertensi, hipotensi postural, takikardia dapat timbul dan terjadi pada
sebagian besar pasien SGB, pemantauan tekanan darah dan denyut jantung sangat
dianjurkan.
Selain itu pasien SGB juga sering mengalami dysautonomia fungsi usus dan
kandung kemih. Retensi urin dapat terjadi pada sepertiga pasien SGB. Disfungsi
kandung kemih sangat umum pada pasien SGB yang merupakan gejala klinis sekunder
untuk disfungsi saraf parasimpatis sakral dan saraf motorik pudenda. Penanganan
tersebut dapat dikelola oleh sistem drainase kemih steril tertutup.
Gangguan
motilitas
gastrointestinal
terjadi pada
15% penderita SGB, pada pasien pada ileus proksimal, manifestasi yang paling sering adalah distensi perut, nyeri dan kram sedangkan pada ileus distal gastrointestinal mungkin bermanifestasi
sebagai sembelit. Gangguan motilitas tersebut bersifat
sementara namun terkadang
dapat terjadi selama berhari-hari hingga berminggu-minggu. Pemeriksaan abdomen termasuk auskultasi, pengukuran lingkar perut, dan terkadang poto polos abdomen merupakan protap standar untuk pasien SGB, terutama dengan dysautonomia.
Dismotilitas biasanya dapat dikelola secara efektif oleh suspensi makanan
enteral, pengisapan nasogastrik,
dan eritromisin atau neostigmine. Nutrisi parenteral mungkin diperlukan jika gangguan bertahan lebih dari beberapa hari. Bila
mungkin, menghindari narkotika juga sangat membantu dalam mengurangi dismotilitas (Pieter et.al, 2008).
C. Profilaksis untuk Deep
Vein Trombosis (DVT)
Imobilisasi yang disebabkan oleh SGB merupakan faktor risiko pencetus
terjadinya Deep Vein Trombosis (DVT)
dan emboli paru. Pemberian heparin sub kutan dan difraksinasi atau stoking merupakan
penanganan yang direkomendasikan untuk pasien SGB non-ambulatory sampai mereka
bisa berjalan secara mandiri. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti bahwa
heparin subkutan (5000 U/12 jam) atau enoxaparin (40mg setiap hari) mengurangi
insiden DVT pada pasien ortopedi dan pasien bedah urologis (Burns, 2008).
D. Manajemen
Nyeri
Nyeri dilaporkan di sebagian besar pasien SGB dan harus ditangani secara
agresif. Dalam satu studi prospektif pasien SGB, 47% melaporkan nyeri yang “menyedihkan”,
“mengerikan”, atau “menyiksa”. Jenis paling umum adalah rasa sakit yang
mendalam, sakit punggung dan nyeri ekstremitas bawah dan dysesthetic
ekstremitas. Intensitas nyeri berkorelasi buruk dengan tingkat kecacatan. Dalam
sebuah penelitian, 75% pasien SGB membutuhkan analgesik opioid oral atau
parenteral dan 30% dirawat dengan infus morfin intravena (1-7 mg/jam).
Gabapentin (15mg/kg/hari) dan carbamazepine (300mg setiap hari) yang dilaporkan
efektif untuk mengurangi rasa sakit pada pasien dengan SGB. Ajuvan terapi lain
(misalnya, mexiletine, tramadol, obat-obatan antidepresan trisiklik) juga dapat
membantu dalam pengelolaan jangka pendek dan jangka panjang nyeri neuropatik.
Acetaminophen atau obat anti-inflammatory
juga bisa dicoba sebagai pengobatan lini pertama tetapi sering tidak terlalu
efektif (Burns, 2008).
2.7.2. Immunotherapy
A. Plasma Exchange (PE) dan Intra Venous
Immunoglobulin (IVIg)
Pertukaran plasma atau Plasma
Exchange (PE) dan IVIG merupakan immunotherapies yang efektif untuk pasien
dewasa dan anak dengan SGB jika diberikan selama beberapa minggu pertama dalam
perjalanan penyakit. Untuk pasien dengan SGB, PE biasanya diberikan sebagai
satu volume plasma, 50 mL/kg pada lima kesempatan terpisah selama 1 sampai 2
minggu (Pieter et.al, 2008).
Kualitas Standar Sub-komite dari American
Academy of Neurology (AAN) menyimpulkan pada tahun 2003 bahwa PE
mempercepat pemulihan pada pasien dengan SGB non-ambulant yang mencari
pengobatan dalam waktu 4 minggu onset, dan penyembuhan akan semakin cepat pada penyandang
SGB yang diperiksa dalam waktu 2 minggu. Sub-komite Standar Kualitas, merekomendasikan
pengobatan dengan PE untuk non-ambulant pasien dengan GBS dalam waktu 4 minggu
(level rekomendasi A) dan untuk pasien penyandang dalam waktu 2 minggu (tingkat
B rekomendasi) dari gejala onset. Jumlah optimum pertukaran plasma belum
ditetapkan, tetapi banyak dokter menggunakan protokol dari Amerika Utara
percobaan di mana total 200 sampai 250 mL/kg ditukar lebih 7 sampai 10 hari (Donofrio, 2003).
Keputusan
untuk menggunakan PE atau IVIG harus didasarkan pada beberapa faktor, termasuk
ketersediaan perawatan dan efek samping terhadap pasien dan komorbiditas. Dalam
beberapa perbandingan yang dilakukan antara IVIG dan PE, komplikasi lebih sedikit
diamati pada kelompok PE dari kelompok IVIG. Efek samping yang signifikan yang
terkait dengan PE meliputi hipotensi, septikemia, pneumonia, pembekuan darah,
komplikasi dari akses vena sentral, dan hipokalsemia. Sitrat diinfuskan
untuk antikoagulasi atau sebagai bagian dari plasma beku
segar dapat menyebabkan hipokalsemia atau asidosis metabolik. Gejala
hipokalsemia termasuk parestesia, kram otot, dan, dalam kasus yang parah,
aritmia jantung, gangguan hemostatik mayor, status kardiovaskuler tidak stabil,
infeksi aktif, dan kehamilan merupakan kontraindikasi dalam penggunaan PE (Lehmann et.al,
2006).
Efek
samping yang signifikan terkait dengan IVIG termasuk gagal ginjal, infark
miokard, muntah dan meningismus. IVIG tidak dikontraindikasikan pada kehamilan.
Secara umum, reaksi negatif terhadap IVIG biasanya ringan dan terjadi pada
kurang dari 10% pasien. Penggunaan infus dengan tetes lambat dianjurkan untuk
pasien dengan penyakit arteri koroner atau gagal jantung kongestif untuk menghindari overload cairan. IVIG meningkatkan viskositas darah, dan ini dapat
meningkatkan risiko kejadian tromboembolik. IVIG mungkin relatif dikontraindikasikan
untuk pasien dengan viskositas serum (seperti yang disebabkan
oleh cryoglobulins serum), trigliserida tinggi, atau hypergammaglobulinemia juga
harus digunakan dengan bijaksana pada pasien dengan trombosis vena dalam (DVT).
Nekrosis tubular akut jarang terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit ginjal
sebelumnya, terutama orang tua dengan diabetes atau kekurangan cairan.
Pemantauan
ketat nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin dan hidrasi yang tepat sangat
penting selama pengobatan IVIG, terutama untuk pasien pada risiko nekrosis
tubular ginjal. Meminimalkan penggunaan IVIG, memperlambat laju infus, dan
memilih produk dengan osmolalitas rendah sangat penting dalam mengurangi resiko.
B. Kortikosteroid
Pengobatan kortikosteroid tidak efektif untuk mengobati SGB. Dalam review
sistematis Cochrane dari enam uji coba dengan 587 pasien, bukti keseluruhan
menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara pasien dengan menggunakan kortikosteroid
dan non-kortikosteroid. Beberapa percobaan juga menunjukkan bahwa kortikosteroid
oral dapat memperlambat pemulihan. Penggunaan metilprednisolon intravena sendiri
tidak menghasilkan manfaat yang signifikan. Dalam kombinasi dengan IVIG,
metilprednisolon intravena (500 mg per hari selama 5 hari, diberikan dalam
waktu 48 jam dari dosis pertama IVIG) dapat mempercepat pemulihan tapi
tampaknya tidak secara signifikan mempengaruhi jangka panjang outcome.
Immunoabsorption
terapi adalah alternatif untuk PE yang tidak menggunakan transfusi darah
sebagai pengganti cairan, sehingga mengurangi risiko infeksi atau reaksi
alergi. Terapi immunoadsorption menghapus Ig dari peredaran tanpa kebutuhan
untuk penggantian dengan albumin atau plasma darah karena kerugian yang lebih
rendah. Dalam sebuah penelitian, tidak ada perbedaan hasil antara 13 pasien
dengan SGB diobati dengan
immunoadsorption dan 11 pasien yang diobati dengan PE, juga tidak ada perbedaan
diamati pada hasil klinis pada peninjauan retrospektif pasien dengan SGB
diobati dengan immunoadsorption, PE, atau double-filtrasi plasmapheresis. Lebih
sedikit komplikasi yang dilaporkan dengan immunoadsorption. PE diikuti oleh
IVIG terbukti tidak memberikan manfaat tambahan yang signifikan secara
statistik dibandingkan dengan PE sendiri atau IVIG sendiri. Immunoadsorption
diikuti oleh IVIG juga tampaknya tidak lebih efektif daripada IVIG.
2.8.
Prognosis
Prognosis
dari
SGB masih bervariasi, namun terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prognosi penyakit tersebut.
Pada usia lanjut contohnya, umumnya menunjukkan prognosis yang lebih buruk.
Tingkat keparahan SGB tampaknya akan ditentukan dalam
tahap awal perjalanan penyakit (Van Koningsveld et.al, 2002).
Pengaruh dari
IVIG
atau PE
pada
pasien yang tidak
dapat berjalan telah menyimpulkan bahwa sekitar 20%
dari pasien tetap tidak bisa berjalan tanpa bantuan setelah
6 bulan. Pengujian neurofisiologis dilaporkan
sangat membantu untuk menilai resiko
kegagalan pernapasan,
yang tertinggi
pada pasien dengan penurunan kapasitas lebih dari 20% dan tanda-tanda demielinasi diakibatkan oleh penurunan peroneal proksimal/distal
senyawa potensial
(Durand et.al, 2006).
Konduksi
saraf
peroneal
blok dan usia
di atas 40 tahun adalah prediktor independen kecacatan pada 6 bulan. Dalam penelitian terbaru, kami mengembangkan
sebuah sistem
penilaian sederhana klinis (EGO)
yang dapat dengan mudah digunakan di samping tempat tidur pasien dengan pasien SGB pada tahap akut. Sistem penilaian ini dapat memprediksi secara akurat kemungkinan untuk
berjalan mandiri setelah 6
bulan, dan dapat dihitung dalam terlebih dulu 2 minggu onset penyakit dengan menggunakan usia, adanya diare sebelumnya, dan SGB cacat skor. Atas dasar tabel
ini, prediksi kesempatan
pemulihan untuk setiap
pasien bervariasi dari 1% menjadi 83%. Keakuratan
skala ini sudah diterima
dalam independen kohort pasien
dengan SGB. EGO dapat digunakan
untuk menginformasikan setiap
pasien tentang prognosis mereka, dan juga dapat digunakan dalam percobaan pengobatan baru yang lebih
spesifik.
Tabel 4. Sindroma Guillain-barre disability
score
DAFTAR PUSTAKA
Alshekhlee A, Hussain Z, Sultan B, Katirji B. Guillain-Barre syndrome: incidence and
mortality rates in US hospitals. Neurology 2008; 70: 1608–13.
Chandra B. 1983. Pengobatan
dengan cara baru dari sindroma gullain-barre.
Medika (11); 918-922
Donofrio PD. Immunotherapy of idiopathic inflammatory
neuropathies. Muscle Nerve 2003;28:273–292
Durand MC, Porcher R, Orlikowski D, et al. Clinical and electrophysiological predictors of respiratory failure in
Guillain- Barre syndrome: a prospective study. Lancet Neurol 2006; 5: 1021–28
Hafer-Macko
CE, Sheikh KA, Li CY, et al. Immune
attack on the Schwann cell surface in acute inflammatory demyelinating
polyneuropathy. Ann Neurol 1996;39:625–635
Japardi. I, 2005. Guillain Barre Syndrome. Fakultas
Kedokteran. Bagian Ilmu Bedah. Universitas
Sumatera Utara.
Lehmann HC, Hartung HP,
Hetzel GR, Stuve O, Kieseier BC. Plasma
exchange in neuroimmunological disorders: part 2. Treatment of neuromuscular
disorders. Arch Neurol 2006;63:1066–1071
Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta. Dian
Rakyat, 2000.
Pieter A van
Doorn, Liselotte Ruts, Bart C Jacobs Clinical
features, pathogenesis, and treatment of Guillain-Barré syndrome. Lancet
Neurol 2008; 7: 939–50. Department
of Neurology, Gravendijkwal
230, 3015CE Rotterdam,
Netherlands
Saharso D. 2006.
Sindroma Guillan-Barre (SGB). Divisi
Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Ted
M. Burns, M.D.1 Guillain-Barre´ Syndrome.
Semin
Neurol 2008 April;28(2):152-167. by Thieme Medical
Publishers, Inc., 333 Seventh Avenue, New York, NY 10001, USA.
Van Koningsveld R, Schmitz PI, Ang CW, et al. Infections and course of disease in mild
forms of Guillain-Barre syndrome. Neurology 2002; 58: 610–14.
Willison HJ. The immunobiology of Guillain-Barre´
syndromes. J Peripher Nerv Syst 2005;10:94–112.