Rabu, 23 Mei 2012

Sindrome Guillain Barre


1.1.       Latar Belakang
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu penyakit neuropati perifer dengan onset akut dan ditandai dengan kelemahan motorik yang biasanya di awali oleh kelemahan pada bagian distal ekstremitas bawah dan naik ke arah kranial (ascending paralysis) dengan karateristik adanya kelemahan arefleksia yang bersifat progresif dan perubahan sensorik (McGrogans et al., 2009).
Penyakit ini disebabkan oleh autoimun dan muncul akibat dipicu oleh infeksi sebelumnya (antecedent infections). Dalam dua pertiga dari kasus, penyebab yang paling sering disebabkan oleh infeksi pernapasan dan infeksi saluran pencernaan (Pieter et al., 2008).
Kasus SGB terdapat di berbagai belahan dunia, insidensinya mencapai 1–3 kasus per 100.000 populasi pertahun, namun angka pelaporan yang aktual sekitar 15% lebih besar dari angka yang dilaporkan. Resiko terjadinya penyakit ini sama di seluruh dunia dan diantara semua ras bangsa, kecuali berdasarkan pengaruh musim. Insidensi usia pada sindroma Guillain-Barre yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan untuk yang paling muda dan 95 tahun untuk paling tua. Laki-laki cenderung lebih mudah terkena yaitu sebesar 1,5 : 1 dibanding wanita (Burns, 2008).
Angka kejadian di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak dipublikasikan. Chandra (1983) dalam penelitiannya menyebutkan insidensi terbanyak di Indonesia adalah pada dekade I, II, dan III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.            

2.1.    Definisi
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu penyakit neuropati perifer dengan onset akut dan ditandai dengan kelemahan motorik yang biasanya di awali oleh kelemahan tungkai (ascending paralysis). Penyakit ini disebabkan oleh autoimun dan muncul akibat dipicu oleh infeksi sebelumnya. Dalam dua pertiga dari kasus, penyebab yang paling sering disebabkan oleh infeksi pernapasan dan infeksi saluran pencernaan (McGrogans et al., 2009).

2.2.    Epidemiologi
Sindroma Guillain-Barre adalah penyebab umum dari kelumpuhan neuromuskuler dan telah dilaporkan menyerang di seluruh dunia. Kejadian tahunan SGB dilaporkan menjadi 1-3 setiap 100.000 dari setiap populasi. Kebanyakan penelitian telah menemukan bahwa insiden meningkat secara linear dengan usia dan bahwa laki-laki sekitar 1,5 kali lebih mungkin terkena SGB daripada perempuan (Pieter et.al, 2008).
Sebuah laporan epidemiologi terakhir di Amerika Serikat dan Eropa mengindikasikan bahwa kejadian SGB pada pasien berusia <16 tahun berubah selama periode 2000-2004, namun laporan sementara peningkatan SGB terjadi pada pasien berusia >50 tahun dari 1,7 menjadi 3,3 dari setiap 100.000 populasi (McGrogan, et.al, 2009).
Salah satu laporan menarik datang dari sebuah penelitian di Cina, yang menunjukkan peningkatan varian, aksonal motor GBS selama musim panas tahun 1991 dan 1992 di sebuah area pedesaan. Penelitian lain juga melaporkan kenaikan sementara dalam kejadian GBS dari 1,6 menjadi 3,1 per 100.000 pada periode 1987-1999 di pulau Curaçao, Karibia. Namun, pengamatan terbaru Alshekhlee et al. (2008) menunjukkan bahwa insiden sementara meningkat di Curaçao telah hampir kembali ke normal pada tahun 2006.
2.3.    Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa faktor pencetus penyakit yang mendahului awal perkembangan penyakit mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a.       Infeksi
b.      Vaksinasi
c.       Pembedahan
d.      Penyakit sistematik
·         Keganasan 
·         Sistemik lupus erythematosus
·         Tiroiditis
·         Penyakit Addison
e.       Kehamilan atau dalam masa nifas (Japardi, 2005)
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar 56-80%, yaitu 1-4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal (Pieter et al., 2008)
Telah diketahui bahwa infeksi salmonela thyposa dapat menyebabkan SGB. Kemungkinan timbulnya SGB perlu lebih diketahui khususnya di Indonesia, dimana demam tifoid masih menjadi penyakit menular yang harus di waspadai.

Tabel 1. Penyebab infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
2.4.       Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi menurut Mardjono et al (2008) pada sindroma ini adalah:
1.              1.Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) stem cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, alergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interleukin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekreksikan enzim protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

Gambar 1. Mekanisme selular pada sindroma Guillain-Barre

2.5.       Klasifikasi
SGB dapat dibagi menjadi tiga subtipe yang dapat dibedakan dengan menggunakan elektrodiagnostik, yaitu :
ü  Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
ü  Acute motor axonal neuropathy (AMAN), acute motor and sensory axonal neuropathy (AMSAN)
ü  Miller Fisher syndrome (MFS)

Gambar 2. Sub tipe sindroma Guillain-Barre

A.   Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Bentuk yang paling umum dari SGB adalah Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) yang ditandai oleh keadaan patologis demielinasi, infiltrasi limfositik, dan makrofag yang mediasi pembersihan myelin. Sekitar dua pertiga kasus SGB terjadi pada minggu setelah infeksi seperti C. jejuni, CMV, mycoplasma pneumonia, atau virus influenza. Agen ini menular dikarenakan memiliki epitop pada permukaan mereka yang mirip dengan epitop pada permukaan saraf perifer (gangliosida, glikolipid), sehingga saraf perifer bertindak sebagai molekul yang meniru dari agen menular. Sebagai contoh, gugus karbohidrat gangliosida (misalnya, GM1, GD1a, GQ1b) ditemukan pada permukaan dari saraf perifer dan meniru struktur dari lipooligosaccharides (RUGI) C. Jejuni (Willison et al., 2005).

B.  Acute Motoric Axonal Neuropathy (AMAN)
       Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan sebagai penyakit epidemik selama musim panas pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55-65% dari pasien SGB tersebut merupakan SGB sub-tipe jenis AMAN. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks dikarenakan disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motorik (Burns, 2008)
Acute motor axonal neuropathy (AMAN) sering disebabkan oleh infeksi C. jejuni yang berisi epitop yang mirip dalam GM1 gangliosida dari saraf. Seperti AIDP, AMAN diyakini mengalami gangguan pada IgG dan komplemen-dimediasi. Dalam banyak kasus, pada awal proses makrofag tertarik pada nodus Ranvier oleh hasil komplemen. Makrofag membelah ke dalam ruang periaxonal ruas, menggusur akson dari sel Schwann dan menyebabkan degenerasi aksonal. Luasnya makrofag yang dimediasi degenerasi aksonal mungkin mempengaruhi prognosis, dimana hal tersebut menyebabkan kemungkinan kematian lebih tinggi dan tentu proses pemulihan yang berlarut-larut bagi mereka yang survive.

C.  Miller Fisher Syndrome
Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia.
Perbedaan penting antara MFS dan AIDP atau AMAN adalah aktivasi antibodi anti-GQ1b dan anti-GT1a di MFS yang menargetkan oculomotor dan saraf bulbar yang diperkirakan memiliki saraf GQ1b relatif tinggi dan kepadatan ganglioside GT1a. Pada MFS, akson terminal presinaptik saraf dan sel Schwann perisynaptic cenderung mengalami kerusakan (Burns, 2008).
Tabel 2. Perbedaan antibodi tiap subtipe SGB
2.6.       Diagnosis
Diagnosis sindroma Guillain-Barre didasarkan pada keadaan klinis yang khas dan disertai dengan pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan elektrodiagnostik dan pemeriksaan cairan serebrospinal. Kriteria diagnostik untuk SGB ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 3. Kriteria Diagnostik Sindroma Guillain-Barre

a.    Manifestasi Klinis
Kelemahan mungkin mempengaruhi semua otot tungkai atau sebagian besar otot-otot distal atau proksimal pada lengan atau kaki. Pasien bisa mengalami penurunan reflek tendon dalam atau tidak. Beberapa keadaan klinis pada pasien SGB terlampir pada Tabel 2 berikut ini.  



Tabel 3. Persentasi gambaran gejala klinis pada Sindroma Guillain-Barre
b.    Punksi Lumbal (Cerebro Spinal Fluid)
Punksi lumbal hampir selalu dilakukan pada pasien yang diduga menderita SGB. Pemeriksaan cairan cerebro spinal (CSF) biasanya menunjukkan peningkatan protein CSF dan peningkatan sel darah putih. Konsentrasi protein CSF pada pasien dengan SGB seringkali normal pada minggu pertama, namun meningkat lebih dari 90% dari pasien pada akhir minggu kedua. Dalam studi pasien dengan sindrom Miller Fisher (MFS), proporsi pasien dengan protein CSF total meningkat dari 25% pada minggu pertama dan menjadi 84% pada minggu kedua. Studi ketiga terakhir mengindikasikan bahwa konsentrasi haptoglobin, α1-antitripsin dan apolipoprotein juga meningkat, namun relevansi patogenetik terhadap SGB sampai saat ini belum diketahui dengan pasti (Pieter et al., 2008).

c.    Elektromiografi
Elektromiografi dapat membantu untuk mendiagnosis dalam kasus-kasus klinis pada pasien yang memiliki rasa sakit yang hebat dan sangat diperlukan untuk mengklasifikasikan SGB ke dalam sub-tipe AMAN dan AIDP (Burns, 2008).


Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik (Suharso, 2006).
Pada umumnya pasien dengan SGB dapat didiagnosis dengan mudah. Namun, pada pasien atipikal, peningkatan jumlah sel CSF juga memiliki kemungkinan pada penyakit lain, seperti keganasan leptomeningeal, Lyme disease, infeksi virus West Nile, dan SGB terkait HIV. Beberapa sebab yang bisa menimbulkan keraguan tentang diagnosis SGB tercantum dalam Gambar 3.

Gambar 4. Diagnosis Diferensiasi Sindroma Guillain-Barre

2.7.       Penatalaksanaan
2.7.1. Perawatan Suportif
Perawatan suportif sangat penting untuk meminimalkan risiko mortalitas, bahkan pada pasien SGB dalam penanganan imunoterapi, persentase mortalitas adalah 5% dan akan menjadi 20% pada pasien dengan gangguan ventilasi. Pedoman perawatan suportif berdasarkan konsensus adalah sebagai berikut (Burns, 2008).

A.  Monitoring dan Manajemen Kegagalan pernapasan dan Airway
Kegagalan pernapasan neuromuskular yang memerlukan ventilasi mekanis terjadi pada 20% - 30% pasien SGB. Ahli saraf harus memantau tanda-tanda klinis dari kegagalan pernafasan yang akan terjadi, termasuk takipnea, penggunaan otot pernapasan tambahan, gerakan tidak sinkron antara dada dan perut, dan takikardia. Sebuah kapasitas vital di bawah 20 mL/kg, tekanan inspirasi maksimal (PImax) < 30cm H2O, atau tekanan ekspirasi maksimal (PEmax) < 40cm H2O memprediksi serangan pernapasan akut. Waktu dari onset untuk masuk kurang dari 1 minggu, kelemahan wajah, ketidakmampuan untuk batuk, ketidakmampuan untuk mengangkat kepala dari bantal, dan atelektasis pada rontgen dada adalah faktor lain yang berhubungan dengan kegagalan pernapasan dan kebutuhan mekanik ventilation. Durasi rata-rata ventilasi mekanis untuk SGB adalah 2-6 minggu (Burns, 2008).
Kebutuhan dan indikasi trakeostomi harus didasarkan pada status individu dalam konteks pemahaman bahwa trakeostomi pada awal meningkatkan kenyamanan pasien dan keselamatan jalan napas, namun trakeostomi juga dapat mengakibatkan cacat permanen dan telah dikaitkan dengan komplikasi seperti perdarahan dan infeksi. Keputusan untuk melakukan trakeostomi dapat menunggu 2 minggu setelah intubasi, tetapi jika pada 2 minggu pasien tidak menunjukkan perbaikan fungsi paru dan kekuatan pernapasan yang signifikan, maka trakeostomi menjadi pilihan.

B.  Monitoring dan Manajemen otonom Nervous System Dysfunction
Disfungsi otonom akut berkembang di sebagian besar pasien dengan SGB dan merupakan penyebab terbesar kematian pada pasien. Gangguan jantung dan hemodinamik adalah komplikasi yang paling serius dan sering, seperti hipertensi, hipotensi postural, takikardia dapat timbul dan terjadi pada sebagian besar pasien SGB, pemantauan tekanan darah dan denyut jantung sangat dianjurkan.
Selain itu pasien SGB juga sering mengalami dysautonomia fungsi usus dan kandung kemih. Retensi urin dapat terjadi pada sepertiga pasien SGB. Disfungsi kandung kemih sangat umum pada pasien SGB yang merupakan gejala klinis sekunder untuk disfungsi saraf parasimpatis sakral dan saraf motorik pudenda. Penanganan tersebut dapat dikelola oleh sistem drainase kemih steril tertutup.
Gangguan motilitas gastrointestinal terjadi pada 15% penderita SGB, pada pasien pada ileus proksimal, manifestasi yang paling sering adalah distensi perut, nyeri dan kram sedangkan pada ileus distal gastrointestinal mungkin bermanifestasi sebagai sembelit. Gangguan motilitas tersebut bersifat sementara namun terkadang dapat terjadi selama berhari-hari hingga berminggu-minggu. Pemeriksaan abdomen termasuk auskultasi, pengukuran lingkar perut, dan terkadang poto polos abdomen merupakan protap standar untuk pasien SGB, terutama dengan dysautonomia. Dismotilitas biasanya dapat dikelola secara efektif oleh suspensi makanan enteral, pengisapan nasogastrik, dan eritromisin atau neostigmine. Nutrisi parenteral mungkin diperlukan jika gangguan bertahan lebih dari beberapa hari. Bila mungkin, menghindari narkotika juga sangat membantu dalam mengurangi dismotilitas (Pieter et.al, 2008).

C.  Profilaksis untuk Deep Vein Trombosis (DVT)
Imobilisasi yang disebabkan oleh SGB merupakan faktor risiko pencetus terjadinya Deep Vein Trombosis (DVT) dan emboli paru. Pemberian heparin sub kutan dan difraksinasi atau stoking merupakan penanganan yang direkomendasikan untuk pasien SGB non-ambulatory sampai mereka bisa berjalan secara mandiri. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti bahwa heparin subkutan (5000 U/12 jam) atau enoxaparin (40mg setiap hari) mengurangi insiden DVT pada pasien ortopedi dan pasien bedah urologis (Burns, 2008).

D.  Manajemen Nyeri
Nyeri dilaporkan di sebagian besar pasien SGB dan harus ditangani secara agresif. Dalam satu studi prospektif pasien SGB, 47% melaporkan nyeri yang “menyedihkan”, “mengerikan”, atau “menyiksa”. Jenis paling umum adalah rasa sakit yang mendalam, sakit punggung dan nyeri ekstremitas bawah dan dysesthetic ekstremitas. Intensitas nyeri berkorelasi buruk dengan tingkat kecacatan. Dalam sebuah penelitian, 75% pasien SGB membutuhkan analgesik opioid oral atau parenteral dan 30% dirawat dengan infus morfin intravena (1-7 mg/jam). Gabapentin (15mg/kg/hari) dan carbamazepine (300mg setiap hari) yang dilaporkan efektif untuk mengurangi rasa sakit pada pasien dengan SGB. Ajuvan terapi lain (misalnya, mexiletine, tramadol, obat-obatan antidepresan trisiklik) juga dapat membantu dalam pengelolaan jangka pendek dan jangka panjang nyeri neuropatik. Acetaminophen atau obat anti-inflammatory juga bisa dicoba sebagai pengobatan lini pertama tetapi sering tidak terlalu efektif (Burns, 2008).

2.7.2. Immunotherapy
A.  Plasma Exchange (PE) dan Intra Venous Immunoglobulin (IVIg)
Pertukaran plasma atau Plasma Exchange (PE) dan IVIG merupakan immunotherapies yang efektif untuk pasien dewasa dan anak dengan SGB jika diberikan selama beberapa minggu pertama dalam perjalanan penyakit. Untuk pasien dengan SGB, PE biasanya diberikan sebagai satu volume plasma, 50 mL/kg pada lima kesempatan terpisah selama 1 sampai 2 minggu (Pieter et.al, 2008).
Kualitas Standar Sub-komite dari American Academy of Neurology (AAN) menyimpulkan pada tahun 2003 bahwa PE mempercepat pemulihan pada pasien dengan SGB non-ambulant yang mencari pengobatan dalam waktu 4 minggu onset, dan penyembuhan akan semakin cepat pada penyandang SGB yang diperiksa dalam waktu 2 minggu. Sub-komite Standar Kualitas, merekomendasikan pengobatan dengan PE untuk non-ambulant pasien dengan GBS dalam waktu 4 minggu (level rekomendasi A) dan untuk pasien penyandang dalam waktu 2 minggu (tingkat B rekomendasi) dari gejala onset. Jumlah optimum pertukaran plasma belum ditetapkan, tetapi banyak dokter menggunakan protokol dari Amerika Utara percobaan di mana total 200 sampai 250 mL/kg ditukar lebih 7 sampai 10 hari (Donofrio, 2003).
Keputusan untuk menggunakan PE atau IVIG harus didasarkan pada beberapa faktor, termasuk ketersediaan perawatan dan efek samping terhadap pasien dan komorbiditas. Dalam beberapa perbandingan yang dilakukan antara IVIG dan PE, komplikasi lebih sedikit diamati pada kelompok PE dari kelompok IVIG. Efek samping yang signifikan yang terkait dengan PE meliputi hipotensi, septikemia, pneumonia, pembekuan darah, komplikasi dari akses vena sentral, dan hipokalsemia. Sitrat diinfuskan untuk antikoagulasi atau sebagai bagian dari plasma beku segar dapat menyebabkan hipokalsemia atau asidosis metabolik. Gejala hipokalsemia termasuk parestesia, kram otot, dan, dalam kasus yang parah, aritmia jantung, gangguan hemostatik mayor, status kardiovaskuler tidak stabil, infeksi aktif, dan kehamilan merupakan kontraindikasi dalam penggunaan PE (Lehmann et.al, 2006).
Efek samping yang signifikan terkait dengan IVIG termasuk gagal ginjal, infark miokard, muntah dan meningismus. IVIG tidak dikontraindikasikan pada kehamilan. Secara umum, reaksi negatif terhadap IVIG biasanya ringan dan terjadi pada kurang dari 10% pasien. Penggunaan infus dengan tetes lambat dianjurkan untuk pasien dengan penyakit arteri koroner atau gagal jantung kongestif untuk menghindari overload cairan. IVIG meningkatkan viskositas darah, dan ini dapat meningkatkan risiko kejadian tromboembolik. IVIG mungkin relatif dikontraindikasikan untuk pasien dengan viskositas serum (seperti yang disebabkan oleh cryoglobulins serum), trigliserida tinggi, atau hypergammaglobulinemia juga harus digunakan dengan bijaksana pada pasien dengan trombosis vena dalam (DVT). Nekrosis tubular akut jarang terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit ginjal sebelumnya, terutama orang tua dengan diabetes atau kekurangan cairan.
Pemantauan ketat nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin dan hidrasi yang tepat sangat penting selama pengobatan IVIG, terutama untuk pasien pada risiko nekrosis tubular ginjal. Meminimalkan penggunaan IVIG, memperlambat laju infus, dan memilih produk dengan osmolalitas rendah sangat penting dalam mengurangi resiko.

B.  Kortikosteroid
Pengobatan kortikosteroid tidak efektif untuk mengobati SGB. Dalam review sistematis Cochrane dari enam uji coba dengan 587 pasien, bukti keseluruhan menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara pasien dengan menggunakan kortikosteroid dan non-kortikosteroid. Beberapa percobaan juga menunjukkan bahwa kortikosteroid oral dapat memperlambat pemulihan. Penggunaan metilprednisolon intravena sendiri tidak menghasilkan manfaat yang signifikan. Dalam kombinasi dengan IVIG, metilprednisolon intravena (500 mg per hari selama 5 hari, diberikan dalam waktu 48 jam dari dosis pertama IVIG) dapat mempercepat pemulihan tapi tampaknya tidak secara signifikan mempengaruhi jangka panjang outcome.
Immunoabsorption terapi adalah alternatif untuk PE yang tidak menggunakan transfusi darah sebagai pengganti cairan, sehingga mengurangi risiko infeksi atau reaksi alergi. Terapi immunoadsorption menghapus Ig dari peredaran tanpa kebutuhan untuk penggantian dengan albumin atau plasma darah karena kerugian yang lebih rendah. Dalam sebuah penelitian, tidak ada perbedaan hasil antara 13 pasien dengan SGB diobati dengan immunoadsorption dan 11 pasien yang diobati dengan PE, juga tidak ada perbedaan diamati pada hasil klinis pada peninjauan retrospektif pasien dengan SGB diobati dengan immunoadsorption, PE, atau double-filtrasi plasmapheresis. Lebih sedikit komplikasi yang dilaporkan dengan immunoadsorption. PE diikuti oleh IVIG terbukti tidak memberikan manfaat tambahan yang signifikan secara statistik dibandingkan dengan PE sendiri atau IVIG sendiri. Immunoadsorption diikuti oleh IVIG juga tampaknya tidak lebih efektif daripada IVIG.

2.8.       Prognosis
Prognosis dari SGB masih bervariasi, namun terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prognosi penyakit tersebut. Pada usia lanjut contohnya, umumnya menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Tingkat keparahan SGB tampaknya akan ditentukan dalam tahap awal perjalanan penyakit (Van Koningsveld et.al, 2002).
Pengaruh dari IVIG atau PE pada pasien yang tidak dapat berjalan telah menyimpulkan bahwa sekitar 20% dari pasien tetap tidak bisa berjalan tanpa bantuan setelah 6 bulan. Pengujian neurofisiologis dilaporkan sangat membantu untuk menilai resiko kegagalan pernapasan, yang tertinggi pada pasien dengan penurunan kapasitas lebih dari 20% dan tanda-tanda demielinasi diakibatkan oleh penurunan peroneal proksimal/distal senyawa potensial (Durand et.al, 2006).
Konduksi saraf peroneal blok dan usia di atas 40 tahun adalah prediktor independen kecacatan pada 6 bulan. Dalam penelitian terbaru, kami mengembangkan sebuah sistem penilaian sederhana klinis (EGO) yang dapat dengan mudah digunakan di samping tempat tidur pasien dengan pasien SGB pada tahap akut. Sistem penilaian ini dapat memprediksi secara akurat kemungkinan untuk berjalan mandiri setelah 6 bulan, dan dapat dihitung dalam terlebih dulu 2 minggu onset penyakit dengan menggunakan usia, adanya diare sebelumnya, dan SGB cacat skor. Atas dasar tabel ini, prediksi kesempatan pemulihan untuk setiap pasien bervariasi dari 1% menjadi 83%. Keakuratan skala ini sudah diterima dalam independen kohort pasien dengan SGB. EGO dapat digunakan untuk menginformasikan setiap pasien tentang prognosis mereka, dan juga dapat digunakan dalam percobaan pengobatan baru yang lebih spesifik.

Tabel 4. Sindroma Guillain-barre disability score







DAFTAR PUSTAKA

Alshekhlee A, Hussain Z, Sultan B, Katirji B. Guillain-Barre syndrome: incidence and mortality rates in US hospitals. Neurology 2008; 70: 1608–13.

Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma gullain-barre.
Medika (11); 918-922

Donofrio PD. Immunotherapy of idiopathic inflammatory neuropathies. Muscle Nerve 2003;28:273–292

Durand MC, Porcher R, Orlikowski D, et al. Clinical and electrophysiological predictors of respiratory failure in Guillain- Barre syndrome: a prospective study. Lancet Neurol 2006; 5: 1021–28

Hafer-Macko CE, Sheikh KA, Li CY, et al. Immune attack on the Schwann cell surface in acute inflammatory demyelinating polyneuropathy. Ann Neurol 1996;39:625–635

Japardi. I, 2005. Guillain Barre Syndrome. Fakultas Kedokteran. Bagian Ilmu Bedah. Universitas Sumatera Utara.

Lehmann HC, Hartung HP, Hetzel GR, Stuve O, Kieseier BC. Plasma exchange in neuroimmunological disorders: part 2. Treatment of neuromuscular disorders. Arch Neurol 2006;63:1066–1071

Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta. Dian Rakyat, 2000.

Pieter A van Doorn, Liselotte Ruts, Bart C Jacobs Clinical features, pathogenesis, and treatment of Guillain-Barré syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939–50. Department of Neurology, Gravendijkwal 230, 3015CE Rotterdam, Netherlands

Saharso D. 2006. Sindroma Guillan-Barre (SGB). Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya.

Ted M. Burns, M.D.1 Guillain-Barre´ Syndrome. Semin Neurol 2008 April;28(2):152-167. by Thieme Medical Publishers, Inc., 333 Seventh Avenue, New York, NY 10001, USA.

Van Koningsveld R, Schmitz PI, Ang CW, et al. Infections and course of disease in mild forms of Guillain-Barre syndrome. Neurology 2002; 58: 610–14.

Willison HJ. The immunobiology of Guillain-Barre´ syndromes. J Peripher Nerv Syst 2005;10:94–112.